Sore itu, saya datang ke rumahnya. Wajahnya tampak lesu. Tidak seperti biasanya, semangat hidup yang selama ini terpancar dari raut mukanya seakan mulai redup. Saya mencoba untuk menelusuri apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Ia bercerita, "Akhir-akhir ini, rumah tangga kami kurang harmonis, saya mudah terpancing emosi. Itu bermula sejak beberapa waktu yang lalu, saat istri saya menolak 'keinginan' saya. Jiwa saya tidak bisa tenang, hati saya selalu resah dan berbagai pikiran jelek berkecamuk dalam otak saya..."
Ia berhenti sejenak, menghela nafasnya. Kemudian ia melanjutkan, "Apakah Arif pernah mengalami seperti yang saya rasakan?"
Saya hanya tersenyum, "Alhamdulillah, sejak menikah sampai saat ini, rumah tangga kami akur dan segala persoalan dapat kami atasi dengan baik," jawab saya datar.
"Arif beruntung, dikarunia seorang istri yang solihah dan sangat pengertian, beda dengan saya yang harus banyak sabar..."
"Ah, biasa saja akhi, namanya hidup, kita tak lepas dari masalah, barangkali saat ini ujian kehidupan yang menimpa kami masih belum sekuat akhi, mudah-mudahan saja, kami bisa tetap harmonis selamanya". Iapun turut mengamini doa saya.
Ia kembali bertanya, "Apa rahasianya akhi, untuk bisa hidup tentram, bahagia dan harmonis?"
"Saya belum tahu banyak, hanya saja saya pernah membaca, bahwa dengan selalu menjalankan perintah Allah swt, dan menghidupkan suasana agama di dalam rumah, rumah akan terasa tentram dan hubungan antar keluarga akan harmonis", jawab saya seadanya.
Itulah sepenggal kisah seorang sahabat saya, yang telah menikah sejak tiga tahun yang lalu. Kisah yang barangkali juga dialami sebagian pasangan suami-istri. Diantara mereka ada yang dapat bersikap bijak dan lapang dada, dan tak sedikit yang larut dalam emosi dan mencari pelampiasan pada yang haram, nau`zubillahi mindzalik!
Keharmonisan rumah tangga merupakan harapan pasangan suami-istri. Hidup yang selalu dihiasi dengan kata-kata cinta, belaian kasih sayang, pelukan kemesraan dan kecupan- kecupan rindu. Hidup yang sakinah, penuh mawaddah dan rahmah. Betapa ketentraman, dan ketenangan itu selalu menjadi sumber kekuatan untuk menyapa hari, mendaki puncak prestasi dan melewati berbagai rintangan hidup.
Namun, kehidupan di dunia butuh proses. Semua yang kita inginkan tidak bisa didapatkan begitu saja. Ia perlu usaha, kerja keras dan doa yang tak pernah henti.
Membina sebuah rumah tangga yang bahagia, tentram dan damai, butuh kesabaran dan kelapangan hati. Banyak hal yang barangkali kita temukan dari pasangan yang kita sendiri belum bisa menerimanya. Tapi, jika hal itu dapat kita atasi dengan bijaksana, ia akan menjadi sarana untuk saling berbagi dan melengkapi.
Seseorang pernah bercerita pada istri saya, bahwa ia butuh waktu 5 tahun untuk menyesuaikan diri, saling memahami dan pengertian antara dirinya dan suaminya. Waktu yang cukup lama memang. Tapi itulah proses yang mesti dijalani, dan ketika proses itu sanggup dilewati maka kebahagiaan pun bersemi indah.
Penolakan istri terhadap 'keinginan' suami mungkin berat untuk dirasa oleh suami. Disaat keinginannya harus dipenuhi, disaat ia butuh belaian cinta dan kemesraan, istri seolah tidak peduli. Dalam keadaan demikian, seorang suami tidak boleh bersikap egois, gegabah dan emosi. Tidak hanya mementingkan kehendaknya saja, tanpa mencoba mengetahui alasan dan memperdulikan kondisi serta keadaan istri.
Ada 2 faktor yang bisa kita ketahui. Pertama faktor zahir yaitu jasmani. Dan kedua adalah faktor batin, yaitu hati dan pikiran. Dalam hal faktor jasmani, barangkali istri sedang tidak sehat, kondisi tubuhnya lagi capek, setelah seharian bekerja, sehingga membuatnya kurang bersemangat memenuhi ajakan suami.
Sedangkan dalam hal faktor batin, barangkali istri sedang mengalami ketidak tenangan hati, karena banyak beban pikiran dan masalah atau karena hal lainnya.
Suami pun perlu me-muhasabahi dirinya. Barangkali selama ini ada hak istri yang tidak terpenuhi, janji-janji yang tidak ditepati, berbuat salah, melukai perasaan istri, istri jarang disayang, selalu di-cuekin, suami terlalu sibuk dengan kerja di luar rumah, suami egois, tidak perhatian, tidak pernah membantu kerja istri mengurus rumah, anak, dan lainnya.
Maka sebagai solusi terhadap faktor pertama; suami harus pengertian, lapang hati dan sabar, memaafkan sikap istri, dan memahami kondisi istri. Dan faktor kedua; dekati istri, berbicara dari hati ke hati, pada saat yang tepat, seperti usai baca al-Qur`an, setelah shalat, ketika hati dan pikiran lagi tenang, ajak dengan penuh cinta dan kasih sayang dan perhatian tulus. Berikan pengajaran yang baik pada istri, jika ia salah dan keliru, sampaikan dengan penuh hikmah dan mau`izhah hasanah.
Dan jika penyebabnya berasal dari suami, maka minta maaflah pada istri, berjanjilah padanya untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu, memperbanyak kebaikan setelah itu, beri istri hadiah, ajak ia jalan-jalan, dan lainnya.
Dengan demikian seorang suami harus bisa berpikiran positif, selalu berbaik sangka dan berlapang hati. Tidak berpikiran jelek dan cepat berburuk sangka pada istri. Hendaknya suami dapat bersabar dan bertanya secara baik-baik.
Menghidupkan nuansa dan suasana agama di dalam rumah merupakan diantara faktor tentram dan damainya suasana di rumah. Hal itu dapat dilakukan dengan merutinkan setiap hari shalat malam, shalat fardhu tepat waktu, membaca azkar pagi dan petang, membaca dan mentadabburi al-Qur`an. Mempelajari buku-buku agama, seperti buku tafsir, hadits, aqidah, fiqh, sirah Rasulullah saw, para sahabat-sahabat beliau, dan seterusnya. Jika suasana agama hidup dalam rumah tangga, bisa dipastikan, insya Allah rumah itu akan senantiasa dinaungi rahmat Allah swt, dikunjungi malaikat dan dijauhi setan.
Nah, hal ini patut untuk dievaluasi bersama, dengan keterbukaan hati dan kelapangan dada serta kejernihan fikiran. Seorang suami adalah imam bagi istrinya. Ia harus menjadi teladan dalam setiap hal. Ketika istri melihat suami begitu giat beribadah, istri akan terpacu untuk mengikuti. Disamping itu, sehendaknya seorang suami meluangkan waktunya setiap hari untuk membimbing istrinya ajaran-ajaran agama, membacakan padanya buku-buku tafsir, hadits, aqidah, akhlak, dan lainnya.
Hal itu haruslah dilakukan dengan penuh cinta dan kasih sayang, perhatian yang tulus dan secara istiqamah. Kesalahan istri diluruskan dengan cara yang bijak dan lembut dan kekeliruan istri diperbaiki dengan belaian cinta dan kasih sayang.
Sehingga dengan itu, hati istri akan terpanggil untuk merubah prilakunya yang selama ini salah dan mungkin menyimpang.
Pada akhirnya, setiap orang dari suami dan istri harus selalu mentajdid (memperbaharui) niat, apa sesunggguhnya niat untuk menikah dahulu, apa harapan dan cita-cita yang ingin diwujudkan dari pernikahan itu. Juga memperkuat keimanan, selalu bertaqarrub pada Allah, karena ketika kita dekat dengan Allah swt, hati akan baik, dengan baiknya hati, akan baiklah kata-kata, sikap, buah pikiran, pribadi, akhlak, dan pergaulan dengan manusia.
Dan juga harus saling mengingatkan akan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Menghilangkan sikap ego, selalu berpikiran jenih, berbaik sangka, mudah memaafkan, dan senantiasa berdoa kepada Allah swt.
Barangkali sidang pembaca belum puas dengan apa yang saya tuliskan, saya menyarankan anda untuk (lebih mendalam) membaca buku-buku yang berkenaan dengan pembahasan di atas. Apa yang saya tulis hanyalah sekelumit dari ilmu, pengalaman dan nasehat berharga yang saya dapatkan dari orang lain. Semakin anda membaca, mengamati dan mendengarkan pengalaman-pengalaman berharga dari orang lain, akan banyak nilai positif dan solusi yang akan anda dapatkan.
Semoga kebahagiaan selalu menemani hari-hari kita. Amin
Dikutip dari http://eramuslim.com
tulisan M. Arif As-Salman
0 komentar:
Posting Komentar
APA KOMENTAR ANDA ?